Belakangan ini, topik kenaikan tarif tol jadi bahan obrolan hangat di kalangan pengusaha logistik. Gimana nggak? Berdasarkan data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), ada 38 ruas jalan tol yang akan mengalami penyesuaian tarif tahun ini. Kenaikan tarif tol ini memang sudah jadi aturan tetap setiap dua tahun sekali, mengikuti tingkat inflasi. Tapi sayangnya, dampaknya nggak sesederhana itu, terutama buat pelaku usaha di sektor logistik.
Kenaikan Tarif Tol dan Efek Domino di Dunia Logistik
Kita semua tahu, kenaikan tarif tol bisa langsung mengerek biaya operasional. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO), Gemilang Tarigan, bahkan mengakui bahwa meskipun kenaikan ini diatur oleh undang-undang, tetap saja ada catatan penting.
Menurutnya ini menjadikan tugas PIC Network harus lebih memikirkan siasat untuk menghadapi tarif tol yang naik, seharusnya kondisi jalan tol memenuhi syarat, seperti mulus dan rambu-rambu yang terpelihara dengan baik. Standar Pelayanan Minimum (SPM) harus jadi acuan utama. Sayangnya, banyak ruas tol di Indonesia masih dipenuhi lubang dan infrastruktur yang kurang layak.
“Apakah kondisi ini sudah dihitung dengan benar dan dicek sesuai kenyataan? Ini yang masih diragukan,” ujar Tarigan.
Dilema Pengusaha Logistik
Masalahnya nggak berhenti di situ. Para pengusaha logistik makin tertekan karena mereka bersaing ketat satu sama lain. Harga jasa angkutan malah cenderung turun, bukan naik. Jadi, meskipun ada kenaikan tarif tol, mereka sering kali memilih untuk menanggung biayanya sendiri agar nggak kehilangan pelanggan. Bayangin, tiap kenaikan tarif tol yang kecil itu, kalau dikumpulkan terus, lama-lama jadi beban besar juga.
“Angka kenaikan tol ini kecil, tapi lama-lama membengkak. Ini jadi beban buat kita,” tambah Tarigan.
Jalan Arteri Jadi Alternatif
Fenomena menarik lainnya muncul: banyak truk logistik yang mulai beralih ke jalan arteri. Kenapa? Ya karena lebih murah. Jalur Pantura misalnya, meskipun sudah ada tol Trans Jawa, masih ramai dilintasi truk-truk besar. Mahendra Rianto, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), bilang kalau selisih waktu antara jalan tol dan arteri cuma sekitar 10 jam. Dan buat banyak pelanggan, beda 10 jam itu nggak terlalu ngaruh ke inventori mereka.
“Customer bilang, ya udah, beda 10 jam nggak ngaruh ke inventori saya. Jadi mereka tetap pakai jalan arteri,” ujar Mahendra.
Efek Rantai Dari Jalan Tol ke Industri
Masalah kenaikan tarif tol bukan cuma soal jalan tol-nya aja. Biaya logistik secara keseluruhan juga ikut terdongkrak. Buat truk bermuatan 16 ton di rute Jakarta-Surabaya, biaya logistiknya bisa mencapai Rp 10 juta. Itu sudah termasuk upah supir, bahan bakar, dan tarif tol. Jadi kalau tarif tolnya naik, otomatis total biayanya ikut naik juga.
Yang lebih parah, ujung-ujungnya industri pengguna jasa logistik juga ikutan teriak. Mereka nggak mau nerima kenaikan biaya begitu aja. Akhirnya beban itu balik lagi ke pengusaha logistik.
“Kalau biaya tol naik, yang nanggung pengguna akhir, yaitu industri. Tapi mereka nggak mau, jadi ya balik lagi ke kita,” ujar Mahendra.
Pemerintah Harus Peka
Yayat Supriatna, pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, juga ikut angkat bicara. Menurutnya, meskipun kenaikan tarif tol diatur tiap dua tahun, pelaksanaannya harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi. Apalagi sekarang banyak PHK dan daya beli masyarakat menurun.
Yayat juga menyarankan agar pemerintah daerah ikut aktif mengusulkan penundaan kenaikan tarif jika situasi ekonomi sedang nggak stabil. Contohnya seperti yang dilakukan Gubernur Jawa Barat saat pandemi COVID-19, yang berhasil menunda kenaikan tarif Tol Cipularang.
“Jangan asal naik, tapi lihat juga dampaknya ke ekonomi wilayah. Kalau lalu lintasnya rendah, investor tol juga rugi,” kata Yayat.
Evaluasi Ulang Tarif Tol
Dari sisi pengusaha, harapan mereka jelas. Kalau bisa, pemerintah mengevaluasi lagi struktur tarif tol, terutama buat truk-truk besar. Mahendra bahkan menyarankan agar tarif untuk golongan kendaraan truk (II, III, dan IV) disamakan dengan tarif golongan I (kendaraan pribadi).
“Jumlah truk itu banyak. Kalau mereka nggak lewat tol, operator tol juga rugi karena tetap harus bayar utang pembangunan,” tambahnya.
Macet dan Biaya Membengkak Karena Kenaikan Tarif Tol
Di banyak titik, truk-truk logistik sering terjebak macet. Contohnya di kawasan industri MM2100 Bekasi. Bayangin, ratusan truk harus antri panjang hanya untuk masuk ke kawasan industri. Kalau udah gitu, waktu tempuh makin lama, konsumsi bahan bakar naik, dan ujung-ujungnya biaya makin tinggi. Semua ini jadi kombo maut buat dunia logistik.
Kenapa Harus Peduli?
Mungkin kamu mikir, “Apa hubungannya sama saya?” Tapi faktanya, kenaikan tarif tol ini bisa berdampak ke harga barang yang kamu beli di minimarket atau online shop. Soalnya, kalau biaya logistik naik, harga barang juga ikut naik. Jadi ini bukan cuma masalah pengusaha logistik, tapi masalah kita semua sebagai konsumen.
Apa Solusinya?
Nah, sekarang pertanyaannya: gimana cara kita keluar dari lingkaran ini?
- Evaluasi Berkala Infrastruktur Tol: Sebelum naikin tarif, pastikan kualitas jalan tolnya bener-bener oke.
- Libatkan Pemerintah Daerah: Daerah harus punya suara dalam menentukan apakah tarif tol layak dinaikkan.
- Buka Diskusi dengan Pengusaha: Kebijakan tarif harus melibatkan pelaku industri, bukan hanya keputusan satu arah.
- Tekan Biaya Non-Tol: Selain tarif tol, pengusaha juga terbebani oleh pungli dan birokrasi. Ini juga perlu diberesin.
- Dorong Digitalisasi Logistik: Dengan sistem digital, efisiensi operasional bisa meningkat, dan beban biaya bisa ditekan.
Kenaikan tarif tol bukan sekadar angka di papan pengumuman. Ini soal keberlangsungan usaha logistik, efisiensi distribusi barang, dan akhirnya, harga barang di pasar. Kalau nggak ditangani dengan bijak, kenaikan tarif tol bisa bikin banyak pelaku usaha megap-megap. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus duduk bareng cari jalan keluar. Karena di balik tarif tol yang naik, ada jutaan roda ekonomi yang ikut bergerak—atau malah terhenti.